Cerita Sex Tante Yani Seksi Hot Bikin Gairah - Langsung saja kita simak -
Jakarta! Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang,
paling tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km
ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku
tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot
dengan kulit sawo gelap.
Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.
Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.
Boleh
dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri
dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak
antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang
bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku kelak.
Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita.
Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena
lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang
muridnya 100% lelaki.
Pembaca
yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata
kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku
ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang
yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk
majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya
beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku untuk
menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di
internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan.
Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.
Aku
ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya.
Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku
menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja
saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA
(sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya
yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat
jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali
melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang
aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya
usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur
4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal
alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke
Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari
Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun
ini.
Stasiun
Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak
manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana
desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3
jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik),
sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah
rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar
aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu.
Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik
sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku
memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku,
wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya
Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu
halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara
mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi,
nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya
kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman
ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira
keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya
pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh
aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku
dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang
asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku,
Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik
lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku
diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah
utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh
ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup
dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup
menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di
desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah
pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku
masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak
tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya
bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton
TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat
malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat
rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang
harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante.
?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.?
?Badanmu engga sesuai umurmu.?
***
Hari-hari
baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari
rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum
sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang
kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan.
Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan
beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta
ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut
ukuranku.
Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling
cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan
tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak
baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku
membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku
di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di
antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya
Popular.
Rupanya
penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang
wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam
membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah
itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus
kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.
Sejak
ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman
kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya
?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan
putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus
agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja
yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi
keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi.
Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru
bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani,
demikian menonjol ke depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering
mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka
sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat
sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus,
agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya,
ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki
lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat
wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita,
tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan,
ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya
?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah!
Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain??
Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai
hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari
cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai :
wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda
manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang
sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh!
Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau
pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari
pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati
ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang
keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal
yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau
sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set
sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku
menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang
menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi,
cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di
betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha,
dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya
tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi
tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut.
Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan
untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah
keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya
tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi
terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah
itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan
?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta,
hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk
di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati
pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat
membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.
?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga
Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu
pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya
belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga
apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu
saya akan coba.? ?
Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu
beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang
baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma
dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja
terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada
kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil
mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap,
tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya!
Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan
makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang
mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan
wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih
sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari
berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang,
nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu
malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki,
anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur,
Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini,
sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha
mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya
memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di
depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat
sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik,
putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan
seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap,
hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak
waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres
ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di
panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap
hari.
Keesokkan
harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika
aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa
lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar
negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat
mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di
sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa
Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya
wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu
pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean.
Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya
yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang
sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi
ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.
Gemetaran
aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar,
putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup
jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik
Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli
amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting,
karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada,
meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar.
Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita
bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas,
sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi
buah kembar itu.
Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang
merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah
bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari
ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani!
Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku
tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang
kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah,
tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya.
Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe
bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda,
begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara
pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik
itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat
jawaban, di meja makan.
Di pertengahan makan siangku, Tante muncul
istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari
bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di
pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya
baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas
mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran
masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi
Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh
Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa!
Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi,
bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun
aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat
menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang
basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa
melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya
baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak
tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun.
Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris
rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada.
Pandanganku ke atas
lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya.
Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus
asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini,
disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan
makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas
kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat?
belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara.
Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke
depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta
baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main.
Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun..
putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh
Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan
baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa
aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang
lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah
besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung,
atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas:
?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku
menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari
belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu
lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal,
memang.
Malamnya
aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang
malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati
pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun
menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat,
aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan
meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya
aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang
tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku,
tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ??
?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2
SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu
tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum
pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi
basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya
kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja.
Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita
sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran
?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku
punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau
pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu
tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu.
?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih
paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai
pacarnya hamil.?
Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di
filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau
meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru
nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia
cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku
jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru
tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ?
Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.
Dalam
perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran
sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus
ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu
memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke
tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli.
Anak
ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya
menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian
membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun
berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing
dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol
biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga.
Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku
kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir
lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya
mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan :
cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki,
panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat
dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang
menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang
rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya
puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah
pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang
aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa.
Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
"Nih, buat kamu"
"Apa nih ?"
"Simpan
aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati" Aku makin penasaran. "Lanjutan
pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik" bisiknya.
Sampai
di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda
pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. "Suguhan" yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh.
Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan "segitiga terbalik" itu. Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya.
Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu "rumit". Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan "jawaban". Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.
Orangnya
lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan
sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia
pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia
pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk
lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang
tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan
sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya "Coba Mar
aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah" Gila!.
Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu.
Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana
ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku
jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun
lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan
selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh
siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku
sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si
Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi
ketika melihat aku ada di dalam kamar.
"Masuk
aja mbak, engga apa-apa" kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
"Kenapa, Mas" Kaget aku.
"Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel"
"Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya" jawabnya cerah.
"Udah berapa lama mbak kerja di sini ?"
"Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun"
"Betah ?"
"Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?"Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
"Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap"
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
"Tumben." Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
"Mana, yang kemarin ?" Dito meminta gambar cewe itu.
"Lho, katanya buat aku"
"Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!"
"Besok deh, kubawa"
Sampai
di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar
aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih
dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya
pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi
aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya
milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin
wanita dewasa. Penasaran aku pada "barang" yang satu itu. Apalagi milik
Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku "berhasil" melihatnya! Di
dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku
kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk
di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini
makin menarik.
"Mau makan sekarang, Mas ?"
"Entar aja lah"
"Nanti bilang, ya. Biar saya siapin"
"Tante mana mbak?"
"Kan
senam" Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga
kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke
ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar
cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih
banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun
ke dapur.
"Masak apa hari ini ?" Aku berbasa-basi.
"Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja"
"Aku mau semua" Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
"Sini aku bantu"
"Ah,
engga usah" Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya
menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati
dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh
badannya, seolah-olah tak sengaja. 'Kan lagi membantu dia. Dapat juga
kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak
yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan,
kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
"Iih, Mas To genit, ah" katanya, tapi tidak memprotes.
"Habis, badanmu bagus sih". Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
"Ah, biasa saja kok"
Akupun
berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah
mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi
sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku.
Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi
ditepisnya tanganku.
"Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!"
"Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?"
"Yeee!"
sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi
berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong,
tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya
tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi
selanjutnya!
Kembali
aku menunda sarapanku untuk "aksi selanjutnya" yang telah kukhayalkan
tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari
belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.
"Ah,
Mas, jangan!" protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
"Terima
kasih" kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir
memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku
selangkah lebih maju!
***
Aku
ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi
di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul
kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku
itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar.
Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu
memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ?
Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi
memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku
malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya
pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang
memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat
Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana.
Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu
mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti.
Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito.
Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis "Hustler" edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah "segitiga terbalik" yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar
kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si
Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini
terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ?
Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia "masuk" dengan benar, karena di
samping jalan masuk tadi ada "yang berlipat-lipat", persis gambar milik
Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, "seharusnya" masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata
salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si
Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah
seluruhnya tenggelam di "tempat yang layak" kecuali sepasang "telornya"
saja menunggu di luar.
Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya,
sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini
bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan
milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh
tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang
sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun
meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah,
ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok
lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku
sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih
melayang-layang.
He!
Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap
sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan
berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa
berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar
sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu
baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito
menyebutnya 'ngeloco'. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan,
keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..
***
Sehari
itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku
telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku
seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa.
Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di
balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan
kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku "tindaklanjuti".
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari
berikutnya aku "harus" tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah "Femina", terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku "pelajaran"
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.
Tanteku
ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh "segitiga
terbalik". Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah
menipis di pinggir-pinggirnya. "Arah" tumbuhnya seolah diatur, dari
tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda
dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting.
Wow, sungguh "karya seni" yang indah sekali! Kelaminku tegang luar
biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya
di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau
Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau
diminta Tante memijit. Aman!
Dengan
wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante,
kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku 'kan waspada. Hampir tak
bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah
itu yang kecermati. Ada "daging berlipat", ada benjolan kecil warna
pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah
benjolan itu ada "pintu". Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku
masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ,
persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba
Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di
situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku.
Bisa berantakan masa
depanku. Aku "mencatat" beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih "panjang", warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah "kurikulum"
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku.
Tapi
pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur
nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak.
Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh.
Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke
samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser
lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah..
Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak
mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin
meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan
saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri,
menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Cerita
Sex Tante Yanmi Seksi Hot Bikin Gairah Aku jadi tak tenang. Berulang
kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik
Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap
milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak
masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari
ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku
membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di
kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.
"Lho, kok udah pulang, To" sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
"Iya
Tante, ada pelajaran bebas" jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau "meledak" karena ketatnya baju itu.
"Terima kasih" katanya. "Tante pergi dulu ya". Mobilnya hilang dari pandanganku. -
Jakarta!
Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling
tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah
utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak
menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot
dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik)
Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara
Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah,
membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan
kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang
kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2
orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun.
Boleh
dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri
dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak
antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang
bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku kelak.
Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita.
Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena
lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang
muridnya 100% lelaki.
Pembaca
yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata
kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku
ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang
yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk
majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya
beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku untuk
menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di
internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan.
Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.
Aku
ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya.
Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku
menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja
saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA
(sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat adik misannya
yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat
jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali
melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang
aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya
usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur
4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal
alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke
Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari
Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun
ini.
Stasiun
Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak
manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana
desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3
jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik),
sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah
rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar
aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu.
Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik
sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku
memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku,
wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya
Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu
halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara
mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi,
nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya
kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman
ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira
keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya
pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh
aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku
dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang
asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku,
Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik
lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku
diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah
utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh
ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup
dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup
menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di
desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah
pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku
masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak
tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya
bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton
TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat
malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.?
?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku.
?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana
sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat
rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang
harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante.
?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.?
?Badanmu engga sesuai umurmu.?
***
Hari-hari
baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari
rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum
sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang
kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan.
Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan
beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta
ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut
ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling
cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan
tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan.
Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak
baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman
sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau
meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh
orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima
usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena
aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi
dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.
Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku
membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku
di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di
antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya
Popular.
Rupanya
penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang
wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam
membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah
itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus
kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu
kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria.
Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya
terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku
keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara
dalamnya tidak ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar
kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat
jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan
yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru
pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan
sebagian atas dada.
Sejak
ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman
kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya
?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan
putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus
agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja
yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi
keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi.
Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru
bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani,
demikian menonjol ke depan.
Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering
mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka
sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat
sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus,
agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya,
ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki
lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat
wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita,
tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan,
ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya
?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah!
Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain??
Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai
hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari
cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai :
wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda
manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang
sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh!
Kenapa begini ? Apanya yang begini ?
Tante Yani! Seperti biasa, kalau
pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari
pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati
ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang
keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal
yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau
sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set
sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku
menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang
menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi,
cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di
betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha,
dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya
tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi
tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut.
Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan
untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah
keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya
tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi
terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah
itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan
?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta,
hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk
di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati
pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat
membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.
?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga
Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu
pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya
belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga
apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu
saya akan coba.? ?
Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu
beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang
baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma
dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja
terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada
kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil
mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap,
tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya!
Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan
makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang
mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan
wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih
sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari
berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang,
nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu
malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki,
anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur,
Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini,
sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha
mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya
memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di
depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat
sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik,
putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan
seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap,
hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak
waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres
ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di
panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap
hari.
Keesokkan
harinya ada kejadian ?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika
aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa
lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar
negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat
mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di
sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa
Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya
wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu
pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean.
Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya
yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang
sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi
ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak
kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran
itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.
Gemetaran
aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar,
putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup
jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik
Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli
amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting,
karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada,
meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar.
Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar.
Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita
bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas,
sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi
buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang
merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah
bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari
ketika aku ?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani!
Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ?
Ah, kenapa selama ini aku
tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang
kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah,
tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya.
Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe
bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda,
begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara
pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik
itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat
jawaban, di meja makan.
Di pertengahan makan siangku, Tante muncul
istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari
bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di
pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya
baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas
mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran
masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi
Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh
Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa!
Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi,
bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi.
Meskipun
aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat
menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang
basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa
melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya
baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak
tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun.
Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris
rapi. Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas
lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya.
Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus
asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini,
disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan
makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas
kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di
sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang
banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat?
belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara.
Di dekatku duduk si
Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat
tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke
depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta
baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main.
Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun..
putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh
Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak
sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan
baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa
aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang
lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah
besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung,
atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas:
?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku
menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari
belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu
lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal,
memang.
Malamnya
aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang
malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati
pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun
menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat,
aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan
meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya
aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang
tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku,
tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ??
?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2
SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu
tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum
pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi
basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya
kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja.
Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita
sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran
?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku
punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau
pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu
tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu.
?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih
paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai
pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di
filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
Kalau
meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru
nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia
cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku
jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru
tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.
Dalam
perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran
sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus
ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu
memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke
tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli.
Anak
ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya
menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian
membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun
berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing
dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol
biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga.
Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku
kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir
lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya
mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan :
cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki,
panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat
dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang
menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang
rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya
puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah
pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang
aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa.
Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
"Nih, buat kamu"
"Apa nih ?"
"Simpan
aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati" Aku makin penasaran. "Lanjutan
pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik" bisiknya.
Sampai
di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda
pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. "Suguhan" yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan "segitiga terbalik" itu.
Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu "rumit". Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan "jawaban". Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.
Orangnya
lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan
sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia
pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia
pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk
lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang
tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan
sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya "Coba Mar
aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah" Gila!.
Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu.
Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana
ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku
jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun
lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan
selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh
siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku
sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si
Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi
ketika melihat aku ada di dalam kamar.
"Masuk
aja mbak, engga apa-apa" kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
"Kenapa, Mas" Kaget aku.
"Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel"
"Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya" jawabnya cerah.
"Udah berapa lama mbak kerja di sini ?"
"Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun"
"Betah ?"
"Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?"Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
"Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap"
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
"Tumben." Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
"Mana, yang kemarin ?" Dito meminta gambar cewe itu.
"Lho, katanya buat aku"
"Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!"
"Besok deh, kubawa"
Sampai
di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar
aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih
dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya
pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi
aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya
milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin
wanita dewasa. Penasaran aku pada "barang" yang satu itu. Apalagi milik
Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku "berhasil" melihatnya! Di
dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku
kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk
di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini
makin menarik.
"Mau makan sekarang, Mas ?"
"Entar aja lah"
"Nanti bilang, ya. Biar saya siapin"
"Tante mana mbak?"
"Kan
senam" Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga
kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke
ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar
cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih
banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun
ke dapur.
"Masak apa hari ini ?" Aku berbasa-basi.
"Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja"
"Aku mau semua" Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
"Sini aku bantu"
"Ah,
engga usah" Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya
menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati
dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh
badannya, seolah-olah tak sengaja. 'Kan lagi membantu dia. Dapat juga
kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak
yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan,
kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
"Iih, Mas To genit, ah" katanya, tapi tidak memprotes.
"Habis, badanmu bagus sih". Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
"Ah, biasa saja kok"
Akupun
berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah
mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi
sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku.
Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi
ditepisnya tanganku.
"Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!"
"Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?"
"Yeee!"
sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi
berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong,
tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya
tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi
selanjutnya!
Kembali
aku menunda sarapanku untuk "aksi selanjutnya" yang telah kukhayalkan
tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari
belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.
"Ah,
Mas, jangan!" protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
"Terima
kasih" kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir
memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku
selangkah lebih maju!
***
Aku
ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi
di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul
kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku
itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku Gambar.
Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu
memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ?
Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi
memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku
malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya
pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang
memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat
Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana.
Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu
mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti.
Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis "Hustler" edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah "segitiga terbalik" yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar
kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si
Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini
terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ?
Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia "masuk" dengan benar, karena di
samping jalan masuk tadi ada "yang berlipat-lipat", persis gambar milik
Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, "seharusnya" masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata
salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si
Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah
seluruhnya tenggelam di "tempat yang layak" kecuali sepasang "telornya"
saja menunggu di luar.
Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya,
sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini
bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan
milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh
tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang
sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun
meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah,
ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok
lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku
sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih
melayang-layang.
He!
Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap
sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan
berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa
berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar
sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu
baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito
menyebutnya 'ngeloco'. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan,
keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..
***
Sehari
itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku
telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku
seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa.
Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di
balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan
kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku "tindaklanjuti".
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari
berikutnya aku "harus" tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah "Femina", terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku "pelajaran"
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.
Tanteku
ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh "segitiga
terbalik". Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah
menipis di pinggir-pinggirnya. "Arah" tumbuhnya seolah diatur, dari
tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda
dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting.
Wow, sungguh "karya seni" yang indah sekali! Kelaminku tegang luar
biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya
di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau
Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau
diminta Tante memijit. Aman!
Dengan
wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante,
kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku 'kan waspada. Hampir tak
bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah
itu yang kecermati. Ada "daging berlipat", ada benjolan kecil warna
pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah
benjolan itu ada "pintu". Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku
masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ,
persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba
Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di
situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi.
Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku "mencatat" beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih "panjang", warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah "kurikulum"
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku.
Tapi
pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur
nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak.
Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh.
Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke
samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser
lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah..
Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak
mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin
meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan
saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri,
menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku
jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin
dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa
sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera
ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung.
Tapi dengan siapa ?
Hari
ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku
membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di
kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.
"Lho, kok udah pulang, To" sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
"Iya
Tante, ada pelajaran bebas" jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau "meledak" karena ketatnya baju itu.
"Terima kasih" katanya. "Tante pergi dulu ya". Mobilnya hilang dari pandanganku.
Tidak ada komentar