Cerita Sex Karena Gairah Mama Tiriku - Ketika Papie
menikah lagi dengan gadis bernama Linda yang usianya masih sangat muda
itu, Vinnie (adikku) dan Mbak Helen (kakakku) menuduh Papie tidak punya
perasaan, menyakiti hati Mamie dan sebagainya. Kedua saudaraku memihak
Mamie dan menganggap Papie sebagai ayah tercela. Tapi aku tak mau
memihak siapa-siapa. karena Mamie ibuku, tapi Papie juga ayahku.
Cerita Sex Karena Gairah Mama Tiriku - Aku berusaha tetap
netral. Aku pernah dikasih tahu oleh Papie, bahwa lelaki dikodratkan
berperilaku poligami. Daripada Papie merusak anak orang atau main dengan
pelacur, mendingan papie menikah lagi. Rasanya sah-sah saja Papie
menikah lagi. Kalau aku sudah tua kelak, mungkin saja aku juga melakukan
hal yang sama seperti Papie.
Vinnie dan Mbak Helen tak pernah mau dipertemukan dengan istri muda
Papie itu. Tapi aku santai saja, mengikuti kehendak Papie untuk
dikenalkan kepada ibu tiriku itu. Di dalam hati, aku malah menganggap
Papie hebat karena berhasil mempersunting gadis yang sebaya dengan Mbak
Helen itu. Ya, kira-kira istri muda Papie itu berumur 24 tahun.
Sedangkan Papie sudah hampir 50 tahun.
Sikap netralku membuat Papie senang. Waktu aku sedang berada di dalam
mobil Papie, sepulangnya dari rumah istri mudanya, Papie memujiku.
Mengatakan aku sudah berjiwa besar wakaupun usiaku masih muda sekali (18
tahun). Papie memintaku sering mendatangi rumah istri mudanya, sebagai
pertanda siapnya diriku menerima wanita muda itu sebagai ibuku yang
kedua.
Mama (demikian aku memanggil istri muda Papie) sebenarnya sangat
menyenangkan. Perilakunya senantiasa supel dan berusaha bersikap sebagai
seorang ibu. Kalau aku mendatangi rumahnya, ia selalu menyuguhkan
makanan yang enak-enak untukku. Setiap kali aku mau pulang, ia selalu
membekaliku uang jajan yang lumayan besar. Jauh lebih besar daripada
uang jajan yang biasa kuterima dari Mamie. Mungkin uang pemberian Mama
itu berasal dari Papie juga. Tapi kalau Mama Linda tidak baik hati, toh
aku takkan dapat uang jajan darinya.
Papie pun jadi berubah. Setelah menyadari bahwa aku bisa berbaik-baik
dengan istri mudanya, Papie jadi sering ngasih duit jajan di belakang
Mamie dan saudara-saudaraku. Apakah aku termasuk orang yang mengail di
air keruh atau mencari kesempatan dalam kesempitan? Tidak. Aku tak
pernah minta duit kepada Papie dan istri mudanya. Semuanya kuperoleh
tanpa kuminta. Dan semuanya itu tak pernah kulaporkan kepada Mamie dan
saudara-saudaraku. Semuanya itu seolah jadi rahasiaku dengan Papie dan
istri mudanya.Dari hari ke hari hubunganku dengan Mama Linda semakin
baik. Ia mulai sering memintaku mengantarnya belanja ke mall-mall dan
bahkan ke rumah orang tuanya.
Pada mulanya semua itu kuanggap wajar-wajar saja. Tapi kenapa diam-diam
di dalam jiwaku terjadi semacam evolusi yang makin lama makin dominan?
Kenapa aku makin sering membayangkan yang aneh-aneh waktu sedang
membonceng Mama Linda di motorku? Mungkin dia tidak merasakan sesuatu
yang aneh, tiap kali kubonceng di motorku, santai saja “ngedeplok” di
boncengan sambil memelukku dari belakang. Padahal perasaanku mulai tak
menentu waktu kurasakan ada yang empuk-empuk mengganjal di punggungku.
Wajarkah kalau aku lalu membayangkan sesuatu yang tak patut singgah
dalam jiwaku?
Pada satu saat ia mengajakku makan di foodcourt sebuah mall. Selesai
makan ia menyuruhku menunggu sebentar, “Mau beli baju tidur dulu,”
katanya. Aku mengangguk sambil meneguk orange juiceku yang belum habis.
Setelah ia berlalu, aku dikejutkan oleh teguran dari belakangku, “Lu
sudah punya cewek cantik rupanya ya?”
Aku menoleh. Ternyata Deky, teman kuliahku. “Cewek mana?” tanyaku.
“Yang tadi bareng duduk di sini, yang pake blouse putih celana jeans,” kata Deky.
“Gila, itu mama gua!” seruku sambil menonjok perut Deky perlahan.
“Ah, masa sih mama lu segitu mudanya?!”
“My Dad’s second wife, you know?”
“Oooo…begitu toh. Gawat dong. Lama-lama bisa kecantol sama lu. Cocoknya dia jadi cewek lu.”
“Sialan lu ah!” kutonjok lagi perut Deky.
“Hahahaaa…” tawa Deky tergerai, “Just a joke, Hen. Jangan ngambek ah.”
Aku cuma nyengir kuda. Tapi setelah Deky berlalu, aku tercenung sendiri.
Kata-kata Deky tadi sugestif banget rasanya. Tak lama kemudian Mama
muncul dengan kantong plastik dijinjing di tangan kanan kirinya.
“Yang ini buat kamu Hen,” kata Mama sambil memberikan salah satu kantong plastik itu.
“Apa ini Mam?” tanyaku sambil melihat isi kantong plastik itu. Ternyata sehelai jacket kulit! Pasti mahal harganya.
“Kamu kan pake motor tiap hari. Biar nggak masuk angin, pake jacket itu,” kata Mama dengan senyum lembut.
“Makasih Mam,” sambutku, “Mama baik sekali…”
Aku lalu teringat Mamie. Rasanya perhatian Mamie, ibu kandungku, tidak
sebanyak ibu tiriku. Terasa banyak sekali pemberian Mama setelah aku
sering bareng dengannya.
Namun hari demi hari yang kulewati terasa menayangkan khayalan-khayalan
aneh terus. Apakah khayalan-khayalan yang merajalela di diriku ini
muncul dari otak kotor, ataukah memang situasinya yang memaksaku untuk
berkhayal seperti itu? Ya…aku jadi merasa senang jika berdekatan dengan
ibu tiriku yang terlalu muda itu (hanya beda 6 tahun denganku). Sudut
mataku mulai sering memperhatikan kecantikan wajah dan kebahenolan
tubuhnya. Wajahnya mirip penyiar (tak usah kusebut namanya) yang
kuanggap paling cantik di TVRI pusat. Kulitnya kuning cemerlang.
Tubuhnya tinggi berisi. Pinggangnya kecil, tapi toket dan pinggulnya
besar. Pokoknya dia typeku.
Tapi dia milik Papie! Papie yang sangat menyayangiku! Apakah aku tergolong anak durhaka kalau menyukai milik ayah tercintaku?
Dan pada suatu malam aku bermimpi memalukan. Mimpi bersetubuh dengan ibu
tiriku. Rasanya nikmat sekali. Dan esok paginya terasa celanaku basah!
Aku malu sendiri kalau ingat semuanya itu. Kejadian itu membuatku
bertanya-tanya di dalam hati, apakah jiwaku sudah demikian parahnya
sehingga aku sampai bermimpikan yang seperti itu? Kalau Mama tau aku
sudah bermimpi seperti itu, apakah dia akan marah dan merasa jijik
berdekatan denganku?Entahlah. Yang jelas sikapku tetap sopan kepada ibu
tiriku. Bahkan lebih sopan daripada sikapku kepada Mamie. Namun…andai
Mama tahu pikiran di balik sikap sopanku ini…ah, entah apa jadinya.
Hari demi hari kujalani terus tanpa kejadian yang berarti, kecuali
khayalanku ini tetap saja tak mau ditindas. Tetap saja bergeliang geliut
di dalam batinku. Sampai pada suatu hari, Mama menelepon ke hpku.
Biasa, minta diantar belanja ke mall. Aku langsung mengiyakan, karena
aku pas mau pulang dari kampus. Tapi aku pulang ke rumah dulu. Mandi
sebersih mungkin. Lalu bilang ke Mamie “Mau ke rumah teman.” Yang
dijawab dengan anggukan Mamie.
Tiba di rumah istri muda Papie, kudapati pintu depan tidak dikunci.
Seperti biasa, aku masuk saja ke dalam. Terdengar suara orang mandi.
Terdengar juga suara Mama berseru dari dalam kamar mandi, “Siapa itu?
Hendri?!”
“Iya Mam,” sahutku keras juga supaya terdengar ke dalam kamar mandi.
“Tunggu sebentar ya. Mama mandi dulu!”
“Iya Mam!” seruku sambil duduk di sofa ruang keluarga.
Tak lama kemudian kulihat dia keluar dari kamar mandi. Sehelai kimono
sutra putih bercorak kembang merah muda membungkus tubuh mulusnya.
Kepalanya dibalut dengan handuk, mungkin karena habis keramas.
“Sangkain nggak secepat ini kamu datang Hen,” katanya sambil melangkah menuju pintu kamarnya.
Seperti dihipnotis, aku bangkit. Memperhatikan cantiknya ibu tiriku
meski cuma mengenakan kimono. Tak sadar aku memandangnya terlalu lama
dan seperti tak berkedip.
“Kenapa Hen?” ia tertegun menatapku.
“Ng…nggak…cuman mau bilang….Mama cantik sekali pake kimono itu…” sahutku
terlontar begitu saja. Rasanya baru sekali itu aku terang-terangan
memuji kecantikannya.
“Masa sih?!” dia malah menghampiriku, “cantik mana sama pacar kamu?”
“Saya belum punya pacar, Mam,” sahutku grogi karena ia memegang pergelangan tangan kiriku.
“Masa sih cowok setampan kamu belum punya pacar?!” Mama mencubit pipiku,
lalu melangkah ke arah kamarnya. Meninggalkan diriku dalam sejuta
kembang harapan. Benarkah aku tampan di matanya? Ataukah ia cuma ingin
menyenangkan hatiku saja?
Aku terduduk di sofa. Lagi-lagi benakku digeluti pikiran tak menentu.
Dan tiba-tiba kudengar suara Mama memanggilku dari dalam kamarnya.
“Ya Mam…” aku menghampiri pintu kamar Mama yang tidak tertutup rapat,
lalu kuberanikan diri membukanya dan berdiri di ambang pintu itu.
Kulihat ia duduk di kursi depan meja rias, tangan kirinya memegang gaun
terusan, tangan kanannya memegang celana jeans dan t-shirt biru muda.
“Masuk aja Hen,” katanya datar seperti tiada sesuatu yang tak wajar
(seperti seorang ibu menyuruh anaknya masuk ke kamarnya), padahal aku
mulai tergiur melihat pahanya yang begitu mulus tersembul dari belahan
kimononya, “Mending pake celana jeans ini apa mending pake gaun ini
Hen?”
Mendengar undangannya, aku masuk ke dalam. “Dua-duanya bagus. Tapi Mama
kan mau dibonceng di motor saya. Mungkin kalau pake gaun malah ribet.
Duduknya harus miring,” kataku sambil duduk di pinggiran tempat
tidurnya.
“Iya ya,” ia mengangguk-angguk sambil tersenyum manis, “minta mobil dong sama Papie, biar kalau ikut kamu bisa pake gaun.”
“Mama aja yang minta, biar saya yang nyetir nanti. Kalau saya dikasih mobil, huuhh…Mbak Helen sama Vinnie pasti ngiri.”
“Nggak enak Hen. Nanti disangkanya mama cewek matre. Mmm…kamu nggak ada acara apa-apa sore ini?”
“Nggak ada. Pulang malem juga nggak apa-apa. Mau ngajak nonton bioskop Mam?”
“Nggak ah. Mau nonton sih puter DVD aja di sini, ngapain jauh-jauh ke bioskop? Eh…Papie mau seminggu di luar kotanya ya?”
“Katanya sih begitu,” kataku yang lalu teringat bahwa Papie baru berangkat tadi pagi, mau ngurus bisnisnya di Jateng.
“Mmm…mama pake ini aja Hen?” tanyanya sambil mengangkat celana jeans dan t-shirt biru mudanya.
“Iya Mam. Kalau nggak takut diketawain sih mending pake kimono itu aja.
Dengan kimono itu Mama kelihatan seksi banget. Eh…maaf Mam…”
Aku merasa kelepasan bicara, mengucapkan kata “seksi” segala. Tapi dia
tidak marah. Dia malah meletakkan gaun dan celana jeans dan t-shirt biru
mudanya di meja rias. Lalu menghampiriku sambil merentangkan kedua
lengannya….dengan senyum mengundang di bibirnya. Aku jadi bingung, mau
apa dia dengan sikap seperti itu?
“Bener mama ini cantik Hen?” tanyanya dengan suara hampir tak terdengar.
“Sumpah!” aku mengangkat dua jari kananku, “Mama bener-bener cantik. Papie hebat bisa dapetin Mama.”
“Kamu bisa aja muji-muji. Coba cium Mama, mau nggak?”
Aku tidak tahu apa sebenarnya tujuan ibu tiriku ini. Namun jelas, bibir
tipis mungil itu sedang menghampiri bibirku. Lalu entah bagaimana
mulainya, tahu-tahu aku sudah terlentang dihimpit Mama yang telungkup di
atas tubuhku. Aku juga tidak tahu bagaimana mulainya, tahu-tahu bibirku
sudah saling lumat dengan bibir ibu tiriku yang cantik dan bahenol itu.
Apakah dia juga membutuhkanku seperti aku yang terus-terusan
melamunkannya? Entahlah. Yang jelas Mama ciuman dan lumatan Mama terasa
begini hangatnya, membuatku jadi tak mau cepat-cepat melepaskan
pertemuan lidah dan dua pasang bibir . Bahkan kemudian kutemukan
kenyataan baru. Bahwa dekapanku di pinggang Mama membuat kimono itu
tertarik sedikit demi sedikit. Dan waktu tanganku turun, kusentuh buah
pinggul yang besar dan kencang. Telapak tanganku bersentuhan langsung
dengan kulit buah pinggul Mama. Masih waktu saling lumat, tanganku
diam-diam menjelajah. Lalu kutemukan suatu kenyataan edan, yang membuat
jantung berdegup kencang, yang membuat darahku
berdesir-desir….ooh….istri muda Papie ini tidak mengenakan celana dalam!
Ya, tanganku tidak menemukan celana dalam. Apakah ini suatu kebetulan,
ataukah memang sudah dipersiapkan?
Jangan berpikir terlalu jauh dulu. Bukankah Mama baru habis mandi? Wajar
saja kalau ia belum mengenakan celana dalam di balik kimononya.
Tapi…mengelus dan meremas buah pinggul Mama tanpa batasan sehelai benang
pun ini, membuat jantungku berdegup kencang. Nafasku pun jadi tak
beraturan lagi. Terlebih ketika Mama berguling sambil mendekapku,
sehingga tubuhku jadi di atas tubuhnya. Dan…belahan kimono di bagian
dadanya terbuka, sehingga toket montoknya terbuka. Ternyata payudara
montok dengan puting kemerahan menantang itu tidak mengenakan beha!
Tidak ada apa-apa lagi di balik kimono itu selain tubuh Mama yang harum
dan padat dan hangat itu!
Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lumatanku pindah, dari bibir
Mama ke lehernya. Kujilati lehernya dengan penuh nafsu, sehingga ia
menggeliat-geliat. Lalu mulutku turun ke bagian dada yang terbuka itu.
Kukecup puting buah dada yang menantang itu, selanjutnya bukan cuma
kukecup melainkan juga kukulum dan kusedot-sedot, sementara ujung
lidahku bergerak-gerak menjilati pentil tetek yang ranum itu.
Lalu terdengar suara Mama di antara deru nafasnya yang memburu, “Hen…mama jadi pengen…”
“Saya juga pengen,” sahutku yang tengah asyik menjilati puting payudara Mama, “boleh Mam?”
Lalu kudengar suara Mama di puncak kepasrahannya, “Iya
Hen…lakukanlah…malam ini sekujur tubuh mama jadi milikmu, Hen…” Mama
mengakhiri ucapannya dengan pelepasan ikatan tali kimononya. Maka
tampaklah sebentuk tubuh yang mulus dan sempurna di mataku. Meski
kimononya belum dilepas total, bagian depan tubuh Mama sudah sepenuhnya
terbuka.
“Tubuh Mama mulus sekali,” gumamku sambil mengelus perut Mama.
Mama cuma tersenyum manis.Aku tak mau berbasa-basi dan buang-buang waktu
lagi. Kuciumi leher Mama yang hangat…ciumanku lalu menjadi jilatan
penuh gairah…jilatan pun tak diam di leher Mama. Jilatanku mulai
membasahi buah dada Mama….pusar perutnya juga…lalu menurun lagi ke arah
selangkangannya…wow, bulu kemaluan Mama lebat sekali! Aku suka! Dan
lidahku mulai menyibakkan jembut Mama, sehingga kemaluannya mulai tampak
jelas…jelas sekali. Lalu dengan ganas kuciumi kemaluan Mama dengan
penuh nafsu. Tiada bau sedikit pun. Mungkin Mama selalu menjaga
vaginanya agar tetap hygienis. Apalagi tadi dia kan baru mandi.
Mama merentangkan kedua pahanya, sehingga aku makin rakus menjilati
vaginanya.Mama menggeliat-geliat sambil mengelus rambutku diiringi
elahan nafasnya yang memburu dan rintihan-rintihan histerisnya yang
semakin merangsang nafsu birahiku.
“Mulai aja Hen…mama udah gak tahan nih…” pinta Mama pada satu saat.
“Iya Mam,” kataku bernada anak yang patuh. Sambil bertekuk lutut di
antara kedua kaki Mama, kulepaskan kaus dan celana jeansku. Mama
memperhatikanku dengan senyum yang…ah…manis sekali senyum itu. Lalu
kulepaskan CDku. Mama melotot, seperti tak mau berkedip waktu
pandangannya terarah ke batang kemaluanku yang sudah sangat ngaceng ini.
“Hen…pe…penismu kok besar sekali? Jauh lebih besar daripada punya
Papie….!” Mama bangkit dan memegang batang kemaluanku, terasa gemetaran
tangan Mama saat itu. Aku cuma menanggapinya dengan senyum, sambil
menanggalkan kimononya yang sudah hampir terlepas dari tubuh sempulur
itu.
“Gak salah ni Hen?” Mama mengelus-eluskan penisku ke pipinya, “Punya
anaknya malah jauh lebih gede dan panjang daripada punya ayahnya?!”
“Kenapa Mam? Takut?” bisikku sambil mendorong dadanya dengan lembut, lalu menghimpitnya setelah ia terlentang merangsang.
Mama memelukku dengan sikap gemas, “Iya takut. Takut ketagihan, sayang,” bisiknya sambil mencubit hidungku.
“Mama tau gak? Beberapa hari yang lalu saya sampai mimpi beginian sama
Mama…sampai basah Mam…” kataku sambil mengelus buah dada Mama yang
benar-benar terawat, benar-benar masih kencang.
“Masa?!” Mama menatapku dengan mata bergoyang indah, “Tapi mama emang
sudah nyangka, kamu punya perhatian khusus sama mama. Dan mama juga
sebenarnya…yah… terus terang saja mama juga sering melamunkan kesempatan
seperti ini.” Mama memegang leher penisku, mengatur posisinya
sedemikian rupa sehingga terasa puncak penisku sudah bertempelan dengan
mulut vagina Mama yang sudah kubikin basah tadi.Tanpa menunggu komando
lagi kudorong penisku kuat-kuat, sehingga Mama menyeringai dan merintih,
“Sedikit-sedikit dulu sayang….jangan disekaliguskan….”
Aku mengerti apa yang Mama maksudkan, karena di kampus aku sering
bertukar pikiran dengan teman-teman yang sudah berpengalaman dalam soal
sex. Maka sambil menekan penisku, aku pun berusaha memompakannya sedikit
demi sedikit. Gerakan yang tidak terlalu dipaksakan ini penting, kata
temanku, supaya perempuannya tidak kesakitan.Dan…makin lama penisku
makin jauh bergerak-gerak di dalam vagina ibu tiriku.
“Duuuh….sudah masuk semua sayang….duuuh…punyamu kok panjang gede
gini…ooooh…..enak sekali, Hen….hsssshhhhh…..ooooh……iya Hen….terus
Hen….terus sayang….adududuuuuhhhhhh…..punya kamu kok enak sekali
sayang….” Mama tak henti-hentinya menyeracau ketika aku mulai gencar
mengenjot liang memeknya yang…ah… enaknya sulit dilukiskan dengan
kata-kata.Aku pernah bersenggama dengan Mbak Suzan yang dahulu kost di
rumahku. Tapi rasanya tidak senikmat dengan Mama ini. Mungkin karena
jepitan liang vagina Mama terasa sekali waktu bergesekan dengan penisku.
Bahkan nikmatnya semakin menggila ketika pantat Mama mulai
bergoyang-goyang erotis…benar-benar membuatku edan eling dalam dekapan
hangatnya.
Tapi berbeda dengan Mama yang erangan histerisnya tiada henti-henti, aku
cuma berdengus-dengus seperti kerbau sedang disembelih. Terkadang suara
kami hilang, karena kami sedang berciuman, tepatnya sedang saling
lumat. Ludah kami sudah bertukar-tukar, tanpa merasa jijik sedikit pun.
Sementara tanganku asyik meremas sepasang payudara Mama, terkadang
kuselomoti, kujilati dan kuhisap-hisap juga.
Dalam keadan senikmat ini aku benar-benar lupa daratan. Tak peduli lagi
bertukar air ludah dengan Mama, bahkan terkadang lidahku menjilati leher
Mama yang mulai keringatan dan menjilati ketiak Mama tanpa merasa ragu
sedikit pun. Semua itu justru membuat Mama makin merem-melek, rintihan
histerisnya pun makin menjadi-jadi.
Bahkan suatu saat kudengar suara Mama terengah-engah,
“Heeen….oooo…oooh…mama sudah mau keluar, sayang……cepatkan
enjotannya….oooh….penismu luar biasa enaknya sayang…..aaaah….mama pasti
ketagihan nanti…….ooooh….mama keluar
Heeeeeennnnn…hssssshhhhhhhhhhhhhh……..”
Mama berkelojotan dalam himpitanku, lalu terasa liang vaginanya
mengejut-ngejut, nikmat sekali merasakan Mama sedang orgasme. Liang
vaginanya terasa jadi becek. Tapi beceknya ini justru yang kurasakan
nikmat sekali. Karena itu berarti bahwa Mama sudah mencapai kepuasan
pertama akibat enjotan kontolku. Maka kucium lagi bibirnya dengan mesra
sambil membiarkan batang kemaluanku terdiam di dalam liang surgawi Mama.
Apakah karena persetubuhanku dengan Mama terjadi di usia yang sudah
tergolong baligh, atau karena Mama lebih cantik daripada Mbak Suzan,
entahlah. Yang jelas, ketika Mama sedang mencapai orgasme, ciuman kami
terasa mesra sekali. Seperti sepasang manusia yang saling mencintai.
Setelah terasa Mama sudah selesai orgasmenya, aku mulai lagi mengayun
batang kemaluanku sambil berbisik, “Mama…duh…memek Mama kok enak sekali
sih?”
“Kamu juga Hen…mama nggak nyangka bisa mendapatkan kepuasan yang luar
biasa begini. Kalau besok-besok mama ketagihan gimana ayo?” Mama membuka
matanya dan tersenyum manis…senyum seorang wanita yang telah dipuasi
hasrat seksualnya.
”Gampang Mam. Tinggal SMS aja, saya pasti datang.”
“Bener nih? Janji ya!”
“Janji Mam. Malah mungkin tanpa dipanggil pun saya akan datang kalau lagi kepengen.”
Lalu ia terdiam. Mungkin karena sedang merasakan nikmatnya enjotan penisku yang belum ejakulasi ini.
“Gantian yuk, sekarang kamu di bawah, tapi kontol kamu jangan sampai
lepas dari memek mama,” kata Mama sambil mengajak berguling ke kiri,
sampai posisiku jadi di bawah sementara Mama jadi di atas. Kontolku
memang diupayakan jangan sampai tercabut dari dalam memek
Mama.Selanjutnya Mama yang bergerak aktif, menaikturunkan pantatnya,
sehingga jepitan liang memeknya terasa membesot-besot batang kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini tanganku jadi bebas meremas-remas buah pinggul
Mama.
Terdengar lagi Mama merengek-rengek histeris dan erotis. Dan ayunan
pantatnya semakin gencar, sehingga pergesekan liang memeknya dengan
kontolku menimbulkan bunyi khas, kcprak…kcprrek…kcprruk…kcprakkk….wow,
nikmatnya!
Cukup lama kami melakukan semuanya ini, sampai keringatku membanjiri
tubuhku dan tubuh Mama…dan akhirnya kudengar Mama berdesah,
“Hssssh….aaaah….mama mau keluar lagi Hen…”
“Sa…saya juga mau keluar,” sahutku yang memang tak kuat lagi mempertahankan kenikmatan ini.
“Ayo kita barengin keluarnya, biar nikmat…” ajak Mama sambil mempergila
ayunan pantatnya, sehingga kontolku terasa dipilin-pilin oleh liang
memek Mama.
“Dududuhh…Mama….ini enak sekali Mam….duduuuuhhh….aaaaah…..” cetusku
terlontar begitu saja ketika hampir tiba di puncak kenikmatanku.
“He…eh…Hen…mama juga belum pernah ngerasa seenak ini….ooooh…Heeen….mama
udah sampai….” Mama berkelojotan di atas tubuhku sambil meremas-remas
rambutku. Pada saat yang sama aku pun berdengus sambil mencengkram
punggung Mama kuat-kuat. Lalu kurasakan penisku memancarkan air mani
berkali-kali …creeet….croooot…. creeet…. creeet….entah berapa kali
penisku mengejut-ngejut di dalam liang memek Mama.Mama mencium bibirku,
lalu berbisik, “Terima kasih sayang…enak sekali.”
“Saya yang harus bilang terima kasih. Barusan fantastis sekali…” kataku
sambil membiarkan Mama tetap berada di atas tubuhku, membiarkan liang
memeknya tetap “mengepal” batang kemaluanku.
“Kamu pernah beginian sama cewek lain?” tanya Mama tiba-tiba.
“Belum pernah,” sahutku berdusta. Padahal aku sudah sering melakukannya dengan Mbak Suzan dahulu.
“Tapi kamu kuat bertahan,” kata Mama dengan tatapan penuh selidik, “biasanya kalau pertama kalinya sebentar juga udah meletus.”
Aku bingung menjawabnya. Tapi tiba-tiba saja aku mendapat akal. Lalu
kataku, “Kalau onani saya sering melakukannya, Mam. Sejak masih di SMA
saya suka onani, kan nggak apa-apa?!”
“O pantesan…yayaya…daripada main sama pelacur, mendingan juga dikocok
sendiri, biar jangan ketularan penyakit kotor. Apalagi zaman sekarang
ada HIV-AIDS…gak ada obatnya…kalau sudah ketularan, tinggal nunggu
kematian aja.” Mama bergerak menarik liang memeknya sampai kontolku
terlepas dari cengkeraman liang surgawi itu.
“Belanjanya jadi Mam?” tanyaku sambil memperhatikan memek Mama yang baru
saja membuatku nikmat setengah mati. Tampak air maniku meleleh ke arah
anusnya.
“Nggak ah. Lemes…gila…memek mama seperti jebol saking gede dan
panjangnya punya kamu Hen…” kata Mama sambil mengambil handuk kecil dari
lemarinya, lalu mengelap memeknya. Setelah itu Mama menghampiriku.
Dengan senyum manis Mama mengelap batang kemaluanku yang berlepotan air
maniku bercampur lendir memek Mama.
Tapi perlakuan Mama yang dengan telaten mengelap batang kemaluanku,
justru membangkitkan lagi nafsu birahiku. Ketika Mama merebahkan diri di
sisiku, dalam keadaan masih telanjang, aku bangkit, duduk bersila
sambil mengelus perut dan buah dada Mama yang montok merangsang itu. Dan
ketika kuelus memeknya yang berbulu lebat itu, Mama diam saja. Mama
tidak tahu bahwa penisku sudah ereksi lagi.Lalu dengan hati-hati aku
merangkak ke atas tubuh Mama, sambil memegang kontolku yang sudah
ngaceng lagi dan kuarahkan ke memek Mama.
Mama tercengang setelah menyadari hal ini, “Kamu sudah mau lagi?”
“Iya Mam…kesempatan yang langka ini tidak akan saya sia-siakan,” sahutku
sambil menempelkan puncak kontolku pada arah yang tepat, “Nggak apa-apa
kan Mam?”
“Lakukan apa pun yang bisa bikin kamu puas. Kan mama sayang kamu,” kata
Mama sambil memegang leher penisku dan membantu mengarahkannya pada
sasaran yang tepat.
Aku bermaksud mendesakkan penisku yang terasa sudah tepat letaknya. Tapi tiba-tiba Mama bertanya, “Mau coba posisi doggy?”
“Boleh,” sahutku patuh.
Kemudian Mama merangkak, lututnya menahan tubuhnya, sepasang siku
tangannya juga menekan kasur, sementara pantatnya ditunggingkan ke atas,
sehingga liang anusnya tampak lebih jelas di mataku. Tapi sasaranku
adalah lubang di bawah anus itu. Lubang yang dirimbuni rambut lebat dan
keriting itu.
Sambil berlutut di kasur, tepat di belakang pantat Mama, aku
mencolek-colek sebentar, mencari lubang surgawi yang akan kucoblos itu.
Ketemu dengan mudah. Lalu puncak zakarku kuletakkan di mulut memek Mama.
Dengan tangan kirinya Mama membantu memegang penisku, sehingga aku
tinggal mendorong saja sambil berpegangan ke pinggang Mama.
Blesss…. batang penisku mulai membenam…kutarik dulu sedikit, lalu
kubenamkan lagi. Ya, aku mulai lagi mengentot Mama sambil berlutut di
belakang pantatnya. Tanganku berpegangan ke pinggang Mama. Tapi tangan
kiriku ditarik oleh tangan kiri Mama, lalu jari tengahku dipegang oleh
Mama dan dieluskan ke kelentitnya. Aku mengerti maksud Mama. Bahwa
sambil memompakan penisku, jari tangan kiriku harus mengelus-elus
clitoris Mama. Dengan suka hati kulakukan keinginan ibu tiriku yang
jelita itu.
“E…enak Hen?” tanya Mama dengan suara tersendat.
“Enak Mam. Fantastis…hhhh….” sahutku terengah juga karena sedang berlutut sambil mengentot Mama dan mengelus-elus kelentitnya.
Terkadang tanganku menjelajah, berusaha menjamah sejauh mungkin. Sambil
membungkuk aku berhasil menjangkau payudara Mama, lalu meremas-remasnya
dengan gerakan penis makin gencar….maju mundur…maju mundur….sehingga
terdengar lagi bunyi kecipak-kecipak yang lucu
itu….crrreeeekkkk….crroookkkk….creeekhhh… crokkkk…diiringi
erangan-erangan histeris ibu tiriku….Heeen….oooh…Heeenn….iya Heen…ini
enak sekali sayang….oooohhh…ooohhh….Heeennnnn….oooohhh ….Heeen…
Aku pun mulai berdengus-dengus. Terkadang lututku gemetaran karena sulit menahan nikmatnya ngentot istri muda ayahku ini.
Tapi hanya belasan menit Mama bisa bertahan dalam posisi seperti ini.
Lalu ia mengejang lagi di puncak orgasmenya. Ia ambruk telungkup,
sehingga penisku terlepas dari genggaman liang surgawinya. Lalu ia
telentang sambil merentangkan kedua kakinya. Aku mengerti bahwa ia
mempersilakanku melanjutkan dengan posisi biasa. Maka sambil merangkak
ke atas tubuhnya, kupegang penisku dan kutempelkan lagi ke mulut
vaginanya. Kemudian kudesakkan lagi penisku….blessss….agak mudah penisku
membenam ke dalam liang memek Mama, karena masih basah dengan lendirnya
sendiri. Aku mulai lagi mengayun batang kemaluanku, dorong tarik,
dorong tarik….
Mama mendekapku lagi dengan hangat. Bahkan sempat berbisik, “Ukuran punyamu terlalu besar, sayang. Mama nggak tahan lama-lama….”
“Jangan terlalu dipaksakan,” sahutku, “kalau Mama pengen istirahat dulu, istirahat aja.”
“Hush…bukan pengen istirahat, sayang. Maksud mama, nggak kuat lama-lama
nahan orgasme. Nih…sebentar juga pasti orga lagi….aaaah…..gak nyangka
punyamu malah lebih jangkung gede daripada punya ayahmu….”
“Saya juga nggak nyangka kalau mimpi itu akan menjadi kenyataan….aaaah….”
“Mimpinya gimana Hen?” tanya Mama sambil mengelus-elus rambutku.
“Dalam mimpi itu, Mama lagi mandi, saya masuk ke kamar mandi yang tidak terkunci…”
“Terus?”
“Saya….saya perkosa Mama….Mama jerit-jerit, tapi saya nggak peduli…tahu-tahu celana saya basah…”
“Ternyata mama nggak perlu diperkosa kan?” bisik Mama sambil menggelitik
pinggangku, “kalau kamu lagi kepengen, minta aja terang-terangan…asal
jangan ketahuan Papie aja…”
Mendengar kata “Papie”, batinku serasa terhempas. Oh, Papie…maafkan
anakmu ini…ampuni aku Papie….aku sedang mencuri milik Papie yang sangat
berharga ini….!
Ada rasa bersalah di hatiku. Tapi aku tak menghentikan enjotanku. Malah
makin gencar kugeser-geserkan batang kemaluanku yang sedang dicengkram
oleh liang surgawi ibu tiriku.Mama pun merintih-rintih histeris lagi.
Bahkan terdengar suaranya setengah meraung. Sehingga terpaksa kusumpal
mulutnya dengan ciuman dan lumatan, supaya suaranya tidak terdengar ke
luar.
Kedua tanganku juga tak mau diam. Di tengah persetubuhan yang sangat
bergairah itu aku masih sempat menjelajahkan tanganku untuk
meremas-remas paha Mama yang sering terangkat ke atas. Sampai akhirnya
kurasakan goyangan pantat Mama mulai menggila, meliuk-liuk edan….lebih
erotis daripada penari perut dari Timur Tengah. Ini membuatku seperti
ditarik ke puncak kenikmatan yang luar biasa. Ya, sudah ada tanda-tanda
bahwa aku akan mencapai titik ejakulasi.
“Saya mau keluar Mam….” bisikku terengah.
“Mama juga mau orga, sayang….oooh….kita barengin lagi keluarnya yuk…..”
“I…iya Mam…..”
Lalu terjadi lagi pencapaian puncak kenikmatan kami secara bersamaan.
Terasa lagi Mama mencengkram bahuku, malah terasa mencakar-cakar, justru
pada saat aku sedang mendesakkan batang kemaluanku sekuat-kuatnya.
Bhlaaaaaarrrrrrr……!
Meletuslah lahar kenikmatanku, menyembur-nyembur di dalam liang memek
Mama yang terasa menyambut dengan kedutan-kedutan misterius.
O, nikmatnya persetubuhan ini….sulit kulukiskan dengan kata-kata.
“Kayaknya saya akan ketagihan nih,” kataku setelah rebah di sisi Mama dalam keadaan sama-sama telanjang bulat.
“Gampang, kan tadi udah dibilang, tinggal kirim SMS aja. Tapi harus pake
kode-kode yang cuma dimengerti oleh kita berdua. Jangan
terang-terangan. Takut ketahuan Papie kan bahaya,” kata Mama sambil
bangkit dari tempat tidur lalu melangkah ke kamar mandi.Terdengar bunyi
air berkecipak-kecipak seperti orang sedang cebok. Mungkin Mama sedang
membersihkan memeknya yang berlepotan air maniku.
Setelah Mama keluar, giliran aku yang masuk ke kamar mandi, karena
kepengen pipis sekalian mau mencuci penisku. Kata teman yang di fakultas
kedokteran, sebaiknya cowok kencing setelah bersenggama, lalu penisnya
dicuci sampai bersih.Waktu kembali ke kamar Mama, kulihat Mama sedang
mengganti kain seprai, karena yang tadi kusut sekali. Sarung-sarung
bantal pun diganti dengan yang baru. Kemudian Mama menyemprotkan parfum
di sana-sini, sehingga kamar ini jadi harum.Tampaknya Mama sangat
menjaga kebersihan dan kerapian. Tiap sudut rumahnya ditata dengan rapi
dan bersih.
Takut mengganggu Mama yang sedang merapikan kamar, aku pergi ke ruang
keluarga. Lalu kuhidupkan TV. Tidak ada acara yang menarik. Tapi
kutonton juga acara komedi dari salah satu pemancar TV favoritku, sambil
duduk melepaskan lelah di sofa panjang. Tak lama kemudian Mama muncul,
dalam gaun tidur putih dan tipis transparant. Tubuh seksinya tampak
membayang di balik gaun tidur itu.
“Malam ini tidur di sini aja ya,” kata Mama sambil duduk merapat di sisi kananku.
“Iya,” aku mengangguk, “saya pun berat ninggalin Mama…entah kenapa…saya jadi merasa…merasa tak mau berjauhan lagi sama Mama.”
“Mama juga sama, sayang,” Mama mengecup pipiku, lalu memeluk pinggangku sambil menempelkan pipinya ke pipiku.
“Kalau saya jatuh cinta sama Mama gimana?” tanyaku sambil membiarkan Mama merebahkan kepalanya di pangkuanku.
“Kamu sangka mama nggak cinta sama kamu? Bukan kalau-kalau lagi Hen.
Mama cinta kamu, mangkanya mama kasih semuanya. Mama bukan pelacur yang
serampangan ngasih tubuhnya kepada siapa saja. Mama hanya akan
memberikan tubuh mama kepada laki-laki yang mama cintai.”
“Tapi Papie….”
“…Sudahlah jangan bahas masalah Papie. Yang penting kita harus pandai-pandai menyembunyikan hubungan kita.”
“Mama cinta Papie juga kan?”
“Mama sayang sama Papie. Dia sudah banyak sekali menolong mama dari kesulitan-kesulitan. Nanti baca deh buku harian Mama….”
Mama terdiam sesaat. Lalu berkata lirih, “Kalau kamu cinta mama, oh…mama
bersukur sekali. Berarti kebutuhan Mama sudah lengkap, untuk
mendapatkan kasih sayang mama dapatkan dari Papie, untuk mendapatkan
cinta…bisa mama dapatkan darimu kan sayang?”
“Iya Mama,” aku mengangguk pasti, “walaupun saya sudah kawin kelak, saya
tidak akan meninggalkan Mama. Tapi itu kan masih jauh…sekarang kan
kuliah juga masih di dasarnya.”
Mama yang kepalanya masih rebah di atas pangkuanku, tiba-tiba
menggerakkan tangannya, menarik ritsliting celana jeansku. Lalu tangan
satunya lagi menyelinap ke balik celana dalamku. Menggenggam penisku
yang masih lemas. Aku pun tak mau kalah. Tanganku menyelinap ke balik
gaun tidurnya, merayap dan meremas pahanya yang licin dan hangat.
Merayap-rayap makin ke atas sampai akhirnya menyentuh kemaluannya yang
berbulu sangat lebat itu.Aku mulai asyik membelai jembut Mama, lalu
jemariku mulai mengelus celah vaginanya yang sudah agak basah dan
hangat. Sementara Mama mulai meremas penisku dengan remasan lembut yang
membuatku jadi bergairah lagi. Penisku mulai mengeras di dalam remasan
Mama.
“Malam ini kuat berapa kali main sama mama?” tanya Mama sambil melayangkan senyum dan pandangan menggoda.
“Nggak tau Mam, saya kan belum pengalaman,” sahutku berbohong. Padahal
aku tahu pasti, bahwa aku pernah bersetubuh sampai 5 kali dalam semalam.
“Hmm…sudah keras lagi,” kata Mama sambil bangkit. Penisku disembulkan
dari celanaku. Ia pun menyingkapkan gaun tidurnya. Lalu ia menduduki
pahaku dengan posisi membelakangiku, sambil berusaha memasukkan kontolku
ke dalam liang memeknya.
Pantat Mama menurun, liang vaginanya terasa mendesak puncak penisku.
Blessss….penisku masuk lagi ke liang vagina ibu tiriku yang cantik itu.
Aku pun memeluk pinggangnya waktu ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya
naik turun, sehingga penisku mulai dibesot-besot lagi oleh cengkeraman
liang surgawinya yang licin dan hangat.
“Buka aja gaunnya biar leluasa ya,” bisikku.
Mama mengangguk. Lalu kutarik gaun tidurnya ke atas. Sepasang tangan
Mama teracung ke atas untuk memudahkanku melepaskan gaun tidurnya.
Terlepas sudah gaun tidur itu. Sehingga bagian belakang tubuh Mama tak
tertutup apa-apa lagi. Aku bersandar di sofa yang sedang kududuki,
sementara Mama tetap duduk di pangkuanku dalam posisi membelakangiku.
Kami sama-sama menghadap ke layar TV. Tapi kami bukan tengah menonton
TV.
Mama mulai aktif lagi menggerak-gerakkan pantatnya, sambil duduk dalam
dekapanku. Aku pun mulai leluasa untuk meremas-remas buah dadanya dari
belakang, sambil menciumi kuduknya.Mama mendesah-desah lagi, pasti
karena sedang mengalami nikmatnya gesekan liang memeknya dengan penisku.
“Aduuhhuhuhhhhh…punyamu terlalu besar, sayang. Bikin mama cepet
nyampe….hssssh….hsssshhhhhhhh…..aaaaahhhhh…..sssss sshhhhhhh…” Mama
menaikturunkan pinggulnya sambil meliuk-liuk, mungkin supaya clitorisnya
lebih kuat bergesekan dengan penisku.Dan akhirnya Mama orgasme lagi.
sex cerita dewasa, cerita dewasa, cerita tante sex, cerita sex
ngentot, cerita ngentot, cerita sex anak, cerita sex hot, hot sex,
cerita hot, kumpulan cerita sex
Tidak ada komentar